Pendidikan Gratis, sebatas impiankah?

Sejak saya sekolah sampai menyekolahkan anak saya, kenyataannya belum pernah saya memperoleh fasilitas mewah berupa pendidikan gratis. Dalam setiap kampanye menjelang pemilu DPR dan Presiden, topik itu memang marak kudengar, tapi kenyataan nya jauh panggang dari pada api.

Barangkali perlu juga didefinisikan secara spesifik, komponen pendidikan yang mana yang gratis. Dimulai dari transport dari rumah ke sekolah, ini bisa gratis jika bersedia jalan kaki, seragam sekolah bisa gratis kalau mau nglungsur pakaian saudaranya atau orang lain, uang gedung rasanya tidak bisa gratis kecuali kalau memang ditiadakan uang gedung, tapi justru ironisnya sekolah yang sudah megah gedungnya masih juga menarik uang gedung, barangkali untuk pemeliharaan gedung kog ya? Uang sekolah, wah ini memang kudengar ada beberapa siswa yang dibebaskan untuk tidak membayar uang sekolah. Buku Cetak, ini rasanya sulit untuk digratiskan, apalagi setiap semester ganti buku dan canggihnya buku sekarang tidak bisa dipakai lagi untuk adik kelasnya besok, apakah ada permainan bisnis dengan percetakan ya? 

Saya adalah pengamat pendidikan amatiran. Hasil pengamatan saya adalah setiap pergantian tahun ajaran (saat bulan Juni s/d Juli), roda perekonomian menjadi seret akibat finansial masyarakat tersedot untuk membayar sekolah baru ataupun pendaftaran ulang. Pengusaha salon banyak mengeluh karena sepi pelanggan, restoran sepi pembeli, supermarket turun omzetnya apalagi jual beli mobil benar-benar mandeg. Kesimpulan gampangnya, apabila pendidikan benar-benar gratis maka tidak akan berpengaruh pada roda perekonomian seperti itu. Jadi, selanjutnya terserah anda. 

Maksudku, mbokya ngono yo ngono ning ojo ngono. Untuk para pemimpin yang tengah mencari simpati saat kampanye, mbokya jangan mengkomoditikan pendidikan dalam ajang politik praktis, atau apalagi melakukan pembodohan masyarakat. Masyarakat itu sudah cerdas bahwa tidak mungkinlah pendidikan itu diselenggarakan secara gratis. Jer basuki mowo bea, pendidikan tetap butuh biaya untuk perbaikan mutunya. Penalaran yang paling logis adalah memperbesar anggaran untuk pendidikan sehingga menjadi murah tetapi tidak gratis, inilah yang tepat. Jaman era orde baru, saya masuk UGM tahun 1981 tidak perlu bayar mahal, SPP per semester hanya Rp 24.000 untuk kelompok IPA. Juli 2009 saat anak saya diterima di SMA Negeri,saya terkena uang sumbangan Rp 4,5 juta dengan SPP per bulan Rp 225.000. Saat ini (Juli 2011), anak saya diterima di Fakultas Kedokteran Umum harus membayar Rp 100 juta dengan uang SPP per semester Rp 1,5 juta, buku cetak dan penunjang kuliah sudah hampir Rp 5 juta untuk semester satu ini. Mengapa mereka masih dengan tidak tahu malu mencanangkan pendidikan gratis? Yang bener aje...lha wong kencing di terminal atau di POM Bensin aja mbayar....huh...

Komentar

Artikel Populer

Karet Gelang Panci Fissler Rusak

Cooking Class Hakasima di Rm Cobra Yogya (Product)

Panci Presto Fissler Berganti Menjadi Sizzling