Memenejemi Kepedulian Bencana Merapi

Adalah wajar dan manusiawi saat terjadi bencana muncul eforia kepedulian dalam bentuk bantuan kepada mereka yang menjadi korban. Ini bukan fenomena yang fenomenal, biasa-biasa saja. Namun yang perlu dicermati adalah pengelolaan kepedulian itu supaya tidak overlaping (tumpang tindhih) dan tepat pada sasaran, on the right place and on the right people. Berbagai contoh menajemen kepedulian jelek telah muncul dipermukaan seperti bertumpuknya nasi bungkus hingga ratusan dan tidak sempat terbagikan sampai basi sedangkan pengungsi yang lain kelaparan (Posko Maguwoharjo), berbagai barang menumpuk di gudang sementara pengungsi makan ubi (Mungkid), bertumpuknya pakaian bekas yang justru untuk iles-ilesan anak-anak korban bencana sedangkan korban yang lain tidak bisa ganti baju, sebuah dusun menerima bantuan berupa tikar dan kasur sementara yang mereka butuhkan sayuran, over stock bantuan susu balita, pembalut wanita dan air mineral, mie instan sementara beras yang menjadi makanan pokok justru kekurangan. Ada juga yang menggelikan tetapi lepas dari itu tetap saya acungkan jempol, seorang donatur nekad mengirim sayuran dari Bogor, padahal Yogyakarta tak kekurangan sayuran karena masih ada Kopeng dan Wonosobo yang kaya akan sayur-mayur. Itu semua fakta yang realistis terjadi.

Pakaian bekas menumpuk,tak ada greged utk segera dibagi

Peningkatan radius aman dari 10 km menjadi 15 km dan akhirnya mencapai 20 km dari puncak Merapi jelas berdampak melipat-gandakan jumlah pengungsi dan antisipasi pihak keamananpun kedodoran dengan munculnya pencurian bahkan penjarahan barang milik penduduk yang ditinggal mengungsi. Padahal perluasan radius aman tersebut bisa saja dilakukan selektif entah berdasarkan geomorfologi, kontur tanah maupun prediksi lintasan awan panas dan material vulkanik yang biasanya melalui daerah aliran sungai (DAS) kali Gendol, bukan digebyah-uyah seperti kemarin yang secara luas menimbulkan kepanikan. Orang yang tinggal di DAS kali Gendol dan berjarak 25 km dari puncak Merapi justru harus mengungsi karena potensi bahayanya lebih besar dibanding dengan orang yang tinggal di Selo yang jaraknya kurang dari 10 km dari puncak Merapi karena terlindungi bukit.

Seorang donatur memang membutuhkan informasi akurat dari posko/barak yang hendak dibantu dan jangan hanya mengantongi informasi dari media yang kebanyakan sudah basi. Syukur kalau bersedia melakukan cek dan ricek terhadap posko yang bersangkutan. Sebagai seorang donatur, berpikirlah jeli dan cerdas, syukur bisa berpikir liar seliar-liarnya asal masih dalam koridor bersosial dan berbudaya jawa. Saat donatur yang lain berpikir nasi bungkus, tak ada salahnya kita berpikir soal sayuran. Mana kala orang ribut memikirkan sayur, kita sudah lari ke arah air jernih dan pipanisasi dan seterusnya.


Disamping itu sebuah posko/barak juga dituntut bisa memberikan data up to date secara real time jumlah pengungsi terutama berdasarkan jenis kelamin dan umur untuk memprediksikan bentuk kebutuhannya. Jelas dibutuhkan seorang relawan pemimpin barak yang mempunyai strong leadership, aktif, dinamis dan taktis. Akan lebih baik lagi kalau donatur memberikan uang cash yang bisa dibelanjakan pada posko yang bisa dipercaya untuk hal ini. Namun perlu hati-hati pada pilihan terakhir ini mengingat dalam kondisi seperti inipun masih ada oknum yang tega berbuat nista.


Nah yang juga mengherankan adalah eksodusnya ratusan mahasiswa yang sedang kuliah di Yogyakarta keluar dari Yogyakarta (dengan alasan klise, berbagai universitas meliburkannya). Ternyata mereka tidak peka terhadap penderitaan rakyat kecil yang tertimpa bencana, padahal tenaga mereka sangat dibutuhkan untuk menjadi relawan yang sangat berbudi mulia. Lantas bila kelak mereka menjadi pemimpin bangsa ini, apa jadinya? Terlebih sikap berlebihan yang ditunjukkan oleh Malaysia yang mengevakuasi mahasiswanya dari Yogyakarta, memangnya Yogyakarta hendak kiamat? Ataukah mereka terpengaruh oleh media yang hanya menjual sensasi negatip atas Yogyakarta? Begitu dangkalkah pemikirannya?

Jelas tidak mudah mengelola kepedulian masyarakat yang begitu banyak, dari berbagai penjuru/tempat dan dalam waktu serentak.Dan sudah terbukti pemerintah yang paling bertanggung jawab akan masalah inipun belum bisa mengelola dengan baik. Mudah-mudahan semua pihak bisa belajar dari pengalaman ini. Dan kini saatnya Yogyakarta harus bangkit dari keterpurukan. Jujur saya sudah rindu Kraton penuh parkir bis pariwisata, Malioboro penuh sesak dan macet, dan banyak wisman tour ke Kaliadem . Move on..

Komentar

Artikel Populer

Karet Gelang Panci Fissler Rusak

Cooking Class Hakasima di Rm Cobra Yogya (Product)

Panci Presto Fissler Berganti Menjadi Sizzling