Impact of long-distance marriage for children

Pada saat Kania berusia 12 tahun, masalah yang tak bisa saya abaikan timbul diantara kami. Masalahnya bertalian dengan reaksinya setiap kali saya balik ke Yogya untuk bekerja. Saat itu anak istri masih di Semarang sementara saya sudah mendahului pindah kerja di Yogya. Sore hari saat saya mau berangkat, semua orang di dalam keluarga akan membantu saya berkemas. Lalu sampai di pintu mereka akan melambaikan tangan sambil berkata "Hati-hati dijalan Pak."

Akan tetapi ketika Kania naik kelas VI, saya perhatikan bahwa ia tidak lagi menjadi peserta yang aktif dalam kelompok pengantar. Ia akan segera pergi, dan tak lama kemudian kelakuannya tidak hanya menghindari saya saat berangkat ke Yogya, beberapa jam setelah saya tiba dari Yogyapun ia sering kali tetap menjaga jarak.

Waktu-waktu selanjutnya ia berbuat apa saja untuk mengacuhkan saya.Bahkan ketika saya mencoba untuk bercakap-cakap, jawabannya dingin sekali. Sebagai seorang Bapak, saya sadar bahwa perbuatannya itu berkaitan dengan kepindahan saya ke Yogya. Tetapi saya juga sadar bahwa saya harus tetap kerja di Yogya untuk memberi makan keluarga. Dan saya mulai berpikir, membiarkan dia acuh kepada saya serta membiarkan kemarahannya menumpuk ketika saya pergi, tidaklah mendatangkan kebaikan apa-apa bagi kami.

Saya tidak inginkan ia mengembangkan sebuah pola mengacuhkan orang lain pada saat ia marah kepada mereka. Dan saya tidak ingin ia mengembangkan kebiasaan buruk tersebut berlanjut kepada persahatan atau bahkan perkawinannya kelak. Lebih daripada itu saya tidak ingin kehilangan persahabatan dengannya dan tidak mau persoalan ini berlarut menjadi pemecah belah yang permanen dalam hubungan dalam keluarga kami.

Jadi saya putuskan untuk mengajak bicara dan memberikan ilustrasi (gambaran kata) yang pernah saya terima dalam suatu in house training. Kini gambaran kata ini akan saya praktekkan untuk mengurus anak, tidak hanya untuk mengelola anak buah dalam perusahaan. Saya yakin cara ini akan berhasil. 
Hari Minggu pagi yang cerah, ketika saya membangunkannya, saya tahu dari sorot matanya dan cara ia mundur dari sentuhan saya, bahwa ia masih marah kepadaku. Tetapi pagi ini saya telah sepakat dengan istri untuk mengajak dia sarapan di Pizza Hut kesukaannya. Ketika kami duduk di meja resto menikmati pizza dan orange juice,saya mulai membagikan gambaran kata saya.

"Kania," kataku sambil menatap matanya lekat-lekat, "Bapak perlu menjelaskan sesuatu kepadamu dan bapak ingin memulai dengan menceritakan sebuah kisah pendek kepadamu. Apakah kamu bersedia mendengarkan?"

"Tentu saja Pak, ayo segera ceritakan". Jawabnya sambil memasukkan pizza ke mulutnya. Katakan saja kamu seorang bintang bola basket SMP.Nah saat itu lagi musim kompetisi kejuaraan bola basket perguruan tinggi. Seperti halnya saya, Kania adalah penggemar bola basket, kecil-kecil dia penggemar fanatik NBA sehingga ia hafal akan bintang-bintangnya. Dengan ngemil kacang telur atau emping goreng ia betah menonton hampir setiap pertandingan bola basket NBA yang disiarkan tv.

Selama setengah musim kompetisi kamu menjadi bintang dalam timmu dan menjadi kapten tim pula. Para rekan pemain dan penggemarmu begitu mencintaimu sehingga setiap kali masuk lapangan, mereka berteriak, Nia! Nia! Nia! Saat saya menyebut namanya dengan melagukannya agak keras di restoran membuat ia tersenyum simpul. Lalu dalam suatu pertandingan kakimu terkilir akibat jatuh diganjal keras oleh lawan mainmu. Keesokan harinya kakimu bengkak membiru dan ibu terpaksa membawamu ke tukang pijat profesional dan kamu diharuskan istirahat total selama 2 minggu.Sekarang kamu hanya bisa duduk di bangku cadangan dan hanya bisa bermimpi bermain dengan mereka. Duduk menunggu ini merupakan hal yang paling pahit dan menyakitkan bagimu.

Empat belas hari kemudian, akhirnya kamu siap untuk bertanding lagi.Tetapi sesuatu terjadi pada hari pertama kamu masuk kembali untuk berlatih. Para rekan pemain tidak menyambutmu dengan hangat, apalagi bersorak dan mengatakan betapa mereka senang engkau kembali, mereka mengacuhkanmu! Khususnya pemain yang menggantikan posisimu sungguh sangat dingin. Bahkan pelatih tim bertindak seolah-olah kamu tidak lagi penting bagi tim dan tidak menempatkanmu dalam pertandingan-pertandingan seperti sebelumnya.

"Jika itu benar-benar terjadi padamu, bagaimana perasaanmu?" Dia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan pahit seperti itu sehingga hampir tersedak pizza kalau tidak keburu digelontor orange juice kesukaannya. Sambil menatap saya dia menjawab "Saya akan merasa dunia ini runtuh Pak, dan saya rindu sekali untuk kembali ke tim." Saya membalas tatapannya dan sejenak kemudian berkata, "Kania, apakah kamu sadar bahwa paling sedikit seminggu sekali kamu memperlakukan Bapak seperti pelatih basket memperlakukanmu dalam cerita bapak tadi?"

Spontan dia menolak,"Tidak! Saya tidak melakukan apapun seperti itu," katanya dengan tegas."Saya mencintai bapak. Saya tidak pernah mencoba membuat bapak merasa buruk."

"Kania, Bapak tahu kamu tidak menyadarinya, tetapi setiap kali Bapak balik ke Yogya, kamu bertindak seperti teman-teman dalam tim. Selama beberapa jam bapak di Semarang kamu menolak bapak dengan tidak membiarkan bapak berada kembali dalam tim keluarga kita. Kania, bapak ingin menjadi bagian dalam kehidupanmu, bapak ingin kembali kedalam timmu ketika bapak pulang. Rasanya pedih sekali ditolak olehmu, dan menimbun kemarahan terhadap bapak tidak akan mendatangkan kebaikan bagimu."

Pagi ini di meja pizza resto, saya melihat keyakinan dan pengertian di wajah anak saya. Ia begitu terperangkap dalam emosi yang ditimbulkan oleh cerita saya sehingga ia mengatakan betapa ia menyesal telah mengacuhkan saya. Bahkan lebih spektakuler, ia meyakinkan saya bahwa segalanya akan berbeda mulai saat itu. Ia masih tidak terlalu suka kami berpisah tempat, tetapi katanya ia tidak akan lagi mengacuhkan saya dengan sengaja.

Ternyata dia sportip, tidak lama saya menyangsikan janjinya ketika sorenya saya berkemas hendak balik ke Yogya, ia membantu saya berkemas-kemas, tentunya bersama dengan anggota keluarga yang lain. Sungguh saya merasa lega dan bersyukur atas perubahan sikap anak saya. Begitu saya membuka pintu mobil ia memanggil saya dari serambi depan, dengan seringainya yang klasik katanya "Hati-hati di jalan Pak, dan bersiaplah untuk ditolak minggu depan."

Sewaktu saya pulang dari Yogya, ia tidak mengacuhkan saya lagi. Ia tidak pernah mengacuhkan saya sejak saat itu. Ini sebagai hasil sarapan pizza bersama dengan sebuah gambaran kata yang saya pergunakan untuk mempermanis percakapan. Kami telah memecahkan masalah yang tumbuh menjadi hubungan amarah dan berjarak antara ayah dan anak. Sekali lagi, saya mengalami secara pribadi manfaatnya menggunakan gambaran kata untuk mengurus anak saya.

Komentar

Artikel Populer

Karet Gelang Panci Fissler Rusak

Cooking Class Hakasima di Rm Cobra Yogya (Product)

Panci Presto Fissler Berganti Menjadi Sizzling